PERKEMBANGAN ilmu pengetahuan terus berjalan seiring banyaknya ragam riset yang dilakukan oleh para ilmuwan . Di bidang kesehatan, riset mengenai feses dan manfaatnya juga banyak dilakukan oleh para ahli.
Prof. Ratha-korn Vilaichone, ahli di bidang gastroenterology dari Department of Medicine, Thammasat University Hospital, Pathumthani, Thailand mengungkapkan transplantasi mikrobiota feses (fecal microbiota transplantation/ FMT) merupakan topik hangat di kalangan ilmuwan. Begitu pula dengan dirinya yang sudah banyak melakukan riset mengenai FMT.
“FMT menjadi topik terkini di dunia penelitian. Teknik tersebut merupakan terapi bagi pasien-pasien dengan gangguan saluran cerna. Termasuk salah satu penyebabnya adalah infeksi helicobacter pylori,” ujarnya dalam kuliah umum di Universitas Airlangga (Unair) seperti dikutip dari laman Unair, Senin (5/9).
Dijelaskannya, helicobacter pylori merupakan bakteri penyebab kanker lambung (gastric cancer) yang paling berbahaya di dunia. Bakteri itu dapat hidup di dalam lambung dan FMT bisa membantu mengurangi infeksi akibat bakteri tersebut.
Selain itu, FMT menjadi terapi bagi berbagai macam penyakit saluran cerna lain seperti irritable bowel syndrome (IBS) dan inflammatory bowel disease (IBD). “Banyak sekali transplantasi mikrobiota yang bisa diberikan kepada pasien. Langkah awalnya adalah mengambil feses dari orang normal dan mengolahnya sedemikian rupa. Tujuannya adalah mengekstraksi materi-materi mikrobiota dan memasukkannya dalam bentuk kapsul untuk menjadi obat,” paparnya.
Sementara itu, Prof. Yoshio Yamaoka MD, PhD dari Departement of Enviromental and Preventive Medicine Faculty of Medicine Oita University, Yufu, Japan juga meneliti helicobacter pylori. Selama 30 tahun dirinya melakukan penelitian di Asia dan disebut sebagai ‘bapak’ helicobacter pylori di Asia. Selama kurun waktu tersebut, Prof. Yoshio menghasilkan banyak temuan baru.
“Masyarakat Indonesia, khususnya Jawa terbilang memiliki tingkat infeksi helicobacter pylori yang rendah. Ini sebagai suatu hal yang menarik dimana infeksi bakteri tersebut masih tinggi di beberapa negara tetangga. Itulah sebabnya juga angka kanker lambung di Indonesia masih relatif rendah,” ungkapnya.
Kendati meninjau dari data tersebut, Prof. Yoshio tetap mengingatkan untuk tidak bersikap lengah. Karena beberapa etnis di Indonesia memiliki resiko kanker lambung yang terbilang tinggi.(H-1)